Pada tanggal 6 April 2023 telah dilaksanakan kegiatan pengajian dengan bertemakan Isu GEDSI dalam Perspektif Islam. Kegiatan ini bertempat di Balai Desa Bobol Kecamatan Sekar, dengan dihadiri beberapa perangkat desa, Tokoh masyarakat, tokoh agama, anggota BSA dan kader Inklusi. Dalam pengajian ini Tim Inklusi ‘Aisyiyah Bojonegoro menghadirkan narasumber, yaitu bapak Ahmad Ali, beliau merupakan tokoh Agama desa Bobol.
Dengan dihadiri oleh 30 peserta, kegiaran ini dimulai pada pukul 16.00 WIB yang diawali dengan pembukaan oleh pembawa acara, lalu dilanjutkan sambutan pertama dari ibu Dra Siti Nurhayati selaku Pimpinan Daerah ‘Aisyiyah, dan sambutan kedua dari Sekretaris Desa Bobol. Kegiatan ini bertujuan agar dapat mengajak atau membina masyarakat agar senantiasa berada dijalan islam, dan agar masyarakat lebih tau terkait isu GEDSI sehingga tercapai kedamaian di masyarakat.
Bapak Ahmad memulai pengajiannya dengan beberapa isu yang diambil, yang pertama terkait gender di masyarakat. Permasalahan gender seakan tidak ada habisnya. Banyak isu-isu yang muncul kemudian tertuju pada kesetaraan gender yang dialami antara laki-laki dan perempuan. Padahal sebetulnya kesetaraan gender ini tidak melulu tentang perempuan dan laki-laki, kesetaraan gender juga sebenarnya terjadi pada kelompok-kelompok rentan atau kelompok minoritas. Kemunculan persoalan gender ini muncul pada abad ke-19 di Prancis, ketika upah yang didapat oleh laki-laki dan perempuan saat bekerja sangat berbeda. Hal inilah yang kemudian memunculkan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki. Faktor biologis juga dijadikan sebagai titik tolak awal kemunculan gender.
Berbagai usaha telah dilakukan, termasuk perubahan terhadap peran serta perempuan di segala bidang kehidupan. Namun tidak dapat dipungkiri, kesetaraan gender yang diharapkan terjadi belum sepenuhnya tercapai. Kesenjangan gender tampak masih terjadi di berbagai bidang pembangunan, misalnya di bidang pendidikan, kesehatan, politik, dan di bidang pemerintahan.
Gender merupakan konstruksi sosial tentang bagaimana menjadi laki-laki dan perempuan sebagaimana tuntutan masyarakat. Gender erat kaitannya dengan pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat yang dianggap pantas bagi laki-laki dan perempuan menurut norma, adat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Ketika konstruksi sosial itu kemudian dihayati sebagai sesuatu yang tidak boleh diubah karena ‘dianggap’ kodrati dan alamiah.
Harapan ke depan, seiring berjalannya waktu dan perubahan budaya maka mindset masyarakat juga harus bisa berubah. Dari anggapan ‘perempuan itu lemah dan hanya mengurus domestik’ sedangkan ‘laki-laki berurusan pada publik’ menjadi mengerti bahwa memasak dan mengurus anak itu adalah keterampilan, bukan kodrat. Dalam urusan rumah tanggapun, antara suami dan istri itu harus bisa saling membantu satu sama lain. Tak ada lagi pandangan ‘aneh’ tentang suami yang pergi membeli beras di pasar. Budaya dan pola pikir inilah yang harus kita terapkan, dari hal kecil agar terbiasa dengan perubahan yang lebih besar. Dengan begitu, laki-laki dan peremouan memiliki kesempatan yang sama untuk melakukan kegiatan lain di luar untuk memenuhi kebutuhan bermasyarakat dan mengembangkan diri.
Isu berikutnya terkait inklusi sosial, inklusi sosial adalah kondisi dimana semua individu atau kelompok masyarakat dapat bertarsipiasi dalam seluruh bidang kehidupan: sosial, agama, ekonomi, politik, pendidikan dan lain- lain. Kemiskinan cenderung mengeksklusikan individu dan kelompok-kelompok masyarakat dari akses kepada berbagai sumberdaya dalam masyarakat, marginalisasi dalam partisipasi dan proses perumusan kebijakan, terbatasnya akses setara kepada pekerjaan, dan melemahnya integrasi sosial dalam masyarakat. Karena itu, memberantas kemiskinan perlu dilakukan secara holistik dalam mengatasi berbagai hambatan bagi kelompok miskin untuk menjadi lebih sejahtera. Hambatan-hambatan tersebut bisa bersifat struktural, kultural, dan prosesual.
Inklusi sosial juga berkaitan erat dengan difabilitas, yakni warga negara yang mempunyai kemampuan berbeda (different ability). Kementerian sosial mendefinisikan difabilitas: setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan atau sensorik, dalam jangka waktu lama, yang mengalami hambatan dalam interaksi sosial dan kesulitan untuk berpartisipasi dengan warga negara lain berdasarkan kesamaan hak. Dalam konteks ini, masyarakat inklusif memberi ruang yang luas kepada kaum difable untuk bisa berinteraksi, berpartisipasi dan mengakses sumberdaya, layanan publik, dukungan infrastruktur, serta dukungan kebijakan secara inklusif.
Point tersebut menjadi akhir dari isi dalam pengajian yang disampaikan oleh bapak Ahmad Ali. Kegiatan selanjutnya ialah berbuka puasa bersama dan dilanjutkan dengan sholat maghrib berjamaah.